Judul : Saya Orang Tengger Saya Punya Agama, Kisah Orang Tengger Menemukan Agamanya.
Penulis : Ayu Sutarto
Tahun terbit : 2007
Penerbit : Kelompok Peduli Budaya dan Wisata Daerah Jawa Timur (Kompyawisda Jatim), Jember, Jawa Timur
Tebal Buku : viii + 145 hlm.
Penjelasan dalam buku ini terbagi dalam enam bagian atau bab yang membahas segala sisi kehidupan masyarakat Tengger. Dimulai pada bagian satu yang menggambarkan kondisi geografis wilayah Tengger dahulu. Wilayah Tengger dahulunya adalah sebuah gunung berapi raksasa yang kemudian hancur dikarenakan erupsi yang sangat kuat. Erupsi itu kemudian memunculkan gundukan-gundukan yang kini menjadi gunung kecil seperti Gunung Batok, Gunung Bromo, dan Gunung Kursi. Selain itu hasil erupsi lainnya adalah deposit pasir yang tebal dan luas dan sekarang hamparan pasir itu disebut Segara Wedi. Di wilayah Tengger ini juga masih memiliki iklim tropis sama dengan wilayah lainnya. Begitupun ragam flora dan fauna yang banyak tersebar di kawasan ini. Buku ini menjelaskan bahwa terdapat sekitar 22 spesies binatang menyusui yang dapat ditemui disana seperti kijang, babi hutan, macan tutul, landak dan sebagainya. Selain hewan menyusui di kawasan yang kini menjadi Taman Nasional ini juga memiliki beragam spesies burung, antara lain bido, rangkong, dan belibis.
Secara administratif penduduk di wilayah Tengger bertempat tinggal di 17 desa di dalam 6 kcamatan dan 4 kabupaten di Provinsi Jawa Timur. Kabupaten itu antara lain Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Probolinggo, dan Kabupaten Malang. Tempat tinggal orang Tengger merupakan bagian dari kawasan Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru (TNBTS) yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Nomor 376/MENTAN/I/1982 pada tanggal 14 Oktober 1982. Di dalam kawasan TNBTS ini aktivitas Gunung Bromo dan Gunung Semeru banyak memperngaruhi topografinya. Ditambah dengan terdapatnya gunung-gunung disekitarnya yang juga memiliki fungsi dan hubungan spiritual dengan orang Tengger karena gunung-gunung tersebut diyakini sebagai tempat tinggal roh-roh putera Rara Anteng dan Jaka Seger yang merupakan tokoh legendaris yang disucikan orang Tengger. Gunung Bromo bukan hanya dianggap sebagai gunung suci yang mnakutkan dan membawa berkah namun juga sebagai pengejahwentahan Sang Hyang Brahma atau Dewa Brahma atau Hyang Widi Wasa.
Bagian selanjutnya lebih banyak membahas mengenai kehidupan orang-orang Tengger beserta kebudayaanya. Sebelum digalakkan penilitian dan sebelum munculnya gerakan reformasi Hindu tahun 1980-an, identitas budaya orang Tengger masih belum banyak dikenal. Hal itu ditambah dengan tidak adanya rujukan yang cukup lengkap untuk menemukan kembali sejarah identitas budaya orang Tengger. Namun didalam salah satu prasasti yang berangka tahun 851 Saka menyebutkan bahwa desa brnama Walandit yang terletak di pegunungan Tengger merupakan tempat yang dihuni oleh para hulun hyang atau abdi dewata. Hal tersebut menunjukan bahwa penghuni pegunungan Tengger sejak dahulu sudah memiliki budaya atau bahkan sistem kepercayaan. Sampai saat ini orang Tengger masih percaya bahwa kata Tengger berasal dari perpaduan dua suku kata dari tokoh legendaris yang juga dianggap sebagai leluhur orang Tengger yaitu Rara Anteng dan Jaka Seger. Rara Anteng diyakini sebagai puteri Prabu Brawijaya V, raja terakhir yang memimpin sebelum kejatuhan Majapahit. Kemudian Rara Anteng terpaksa mengungsi ke pegunungan Tengger karena Majapahit mendapatkan serangan dari Demak. Jaka Seger sendiri adalah diyakini sbagai putera Brahmana yang sedang bertapa di pegunungan ini. Selanjutnya dalam bukti sejarah lainnya ditemukan berbagai prasasti, seperti yang ditemukan di Desa Wonokitri yang berangka tahun 1327 Saka dan berisi seperti prasasti sebelumnya namun juga tertulis warga dsa Walandit dulu dibebaskan dari kewajiban membayar titileman yaitu upacara kenegaraan karena mereka sudah berkewajiban melakukan pemujaan terhadap Gunung Bromo. Pada masa penjajahan Belanda hingga setelah kemerdekaan Republik Indonesia, perhatian akan orang dan budaya Tengger memiliki porsi lebih. Hal tersebut terbukti dari banyaknya penelitian orang Belanda ataupun pakar Antropologi yang kemudian banyak membahas mengenai budaya luhur, bahasa, hingga agama orang Tengger.
www.yukepo.com |
Sebagian besar masyarakat Tengger bermata pencaharian sebagai petani sayur mayur. Faktor lingkungan geografis dan tanah yang cukup subur menjadikan sebagaian warga disana memilih untuk bekerja sebagai petani. Selain itu juga ada beberapa warga Tengger yang memilih sebagai pedagang dengan mendirikan toko-toko yang menyediakan barang-barang kebutuhan warga dan wisatawan. Juga banyak warga yang bergerak dalam sektor pariwisata yakni dengan membuka jasa penyewaan Jeep, menjual cinderamata, atau menyewakan kuda mereka. Dalam berkomunikasi masyarakat Tengger menggunakan Bahasa Jawa dengan dialek Tengger atau Bahasa Jawa Tengger. Kesenian yang digemari warga Tengger antara lain lundruk, jaran kepang, dan tayuban. Kesenian itu sering ditampilkan dalam upacara adat Kasada, pernikahan, dan peringatan hari-hari besar. Orang Tengger selalu mengupayakan terwujudkan keselaran antara kehendak dewa dan roh-roh leluhur yang bersemayam di dalam kehidupan mereka. Untuk mencapai keselarasan hidup itu Orang Tengger dalam buku ini dejelaskan untuk menjauhi malima. Malima adalah maling (mencuri), main (berjudi), madat (minum candu), minum (mabuk karena minuman keras), dan madon (main perempuan). Sedangkan mereka memperjuangkan walima dalam kehidupannya, yaitu waras (sehat jasmani dan rohani), wareg (cukup makan), wastra (cukup sandang), wasis (cukup pengetahuan), dan wisma (cukup tempat tinggal).
Setelah peristiwa GESTOK meletus, warga Tengger kebingungan dalam menentukan agamanya. Agama “Buda Tengger” yang selama ini dipeluk mereka tidak diakui pemerintah Republik Indonesia. Pada waktu itu pemerintah hanya mengakui 5 agama yaitu Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu. Kebingungan beragama terus berlangsung hingga pada tahun 1970-an, hingga melalui Parisada Jawa Timur, orang Tengger dikategorikan sebagai pemeluk Agama Buddha Mahayana dengan SK No.00/PBH Jatim/Kept/III/73, tanggal 6 Maret 1973. Padahal dalam praktek beragamanya tidak terdapat unsur kebuddhaan. Namun beberapa tokoh beranggapan bahwa orang Tengger lebih mirip dengan ajaran agama Hindu. Setelah terjadi revitalisasi Agama Hindu orang Tengger memiliki dua tempat peribadatan yaitu sanggar pamujaan dan pura. Hingga ditahun 1996 dibangunlah Pura Luhur Poten ditengah laut pasir persis dibawah kaki Gunung Bromo.
Salahs satu pewaris aktif tradisi Tengger adalah para dukun. Dukun Tengger memiliki fungsi dan peranan yang berbeda dari dukun lainnya. Tugas dan wewenangnya antara lain memimpin semadi, upacara agama, upacara adat, dan sebagai juru penerang agama. Para dukun itu oleh masyarakat biasa disebut dhukun gedhe. Dukun-dukun tersebut merupakan pewaris alat-alat ritual dan doa peribadatan dari pendahulunya. Dukun yang sekarang menjabat juga berasal dari keturunan dukun sebelumnya atau keponakan dari ayah/ ibu. Seseorang diangkat menjadi dukun apabila telah memenuhi persyaratan tertentu, yaitu memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam menganai tradisi Tengger terutama tradisi lisan, disetujui oleh masyarakat Tengger melalui musyaawarah, dan direstui serta diangkat oleh Pemerintah Daerah. Pengangkatan dukun juga melalui sebuah ujian mulunen yang disasksikan oleh warga dan dukun dari seluruh desa Tengger pada saat upacara Kasada yang diselenggarakan di Ponten, Laut Pasir, di kaki Gunung Bromo. Pelantikan dukun pada perayaan Kasada bermula dari proses yang panjang antara lain harus menghafal teks arkaik dan kompleks yang terdapat dalam japa mantra peribadatan Tengger.
Tradisi Tengger lainnya adalah upacara adat yang beragam. Salah satu yang paling terkenal dijelaskan dalam buku ini yaitu Upacara Kasada. Kasodoan merupakan sarana komunikasi antara orang Tengger dengan Hyang Wida Wasa dan roh leluhur mereka. Sebelum pelaksaaan upacara ini terlebih dahulu dipersiapkan ongkek yaitu seperangkap sesaji hasil bumi yang nantinya akan dikurbankan olehdukun ke dalam kawah Gunung Bromo. Puncak dari upacara ini adalah di ponten pada saaat pembacaan “sejarah” Kasada oleh Dukun Pandita dan diteruskan dengan membuang ongkek dalam kawan Bromo.
Comments
Post a Comment